PT Belmi Indonesia Consultant - BELMINDO

PT Belmi Indonesia Consultant hadir sebagai konsultan bagi perusahaan dan orang pribadi yang membutuhkan jasa akuntansi, perpajakan, kepabeanan, administrasi legal, dan jasa lainnya

Wednesday, July 30, 2014

SE-52/PJ/2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


Yth.
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
4. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
5. Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
6. Kepala Kantor Pengolahan Data Eksternal
7. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak


SURAT EDARAN
NOMOR SE-52/PJ/2012
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN KODE AKTIVASI DAN PASSWORD SERTA PERMINTAAN,
PENGEMBALIAN, DAN PENGAWASAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK


A. UMUM
Tata cara permohonan Kode Aktivasi dan Password serta permintaan, pengembalian, dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini digunakan sebagai acuan umum dalam pemberian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.


B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
Ketentuan ini dibuat agar dapat dijadikan sebagai acuan bagi Kantor Pelayanan Pajak dalam memberikan dan melakukan pengawasan terhadap pemberian Nomor Seri Faktur Pajak.

2. Tujuan
Memberikan penjelasan dan prosedur standar dalam penyelesaian pemberian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.


C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup ketentuan ini mengatur pelaksanaan dan prosedur pemberian dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak yang mencakup tata cara pemberian Kode Aktivasi dan Password serta permintaan, pengembalian, dan pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak.


D. DASAR
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.


Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




TATA CARA PERMOHONAN KODE AKTIVASI DAN PASSWORD

I. Pengusaha Kena Pajak

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengajukan permohonan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.
2. Dalam hal Surat Permohonan sudah diisi dengan lengkap, PKP menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS).
3. Dalam hal permohonan Kode Aktivasi dan Password:
a. disetujui, PKP akan menerima:
1) Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi yang diberikan KPP kepada PKP melalui jasa pos tercatat/jasa ekspedisi/kurir ke alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
2) Password yang diberikan KPP kepada PKP melalui surat elektronik (email).
b. ditolak, PKP akan menerima surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang dikirimkan oleh KPP melalui pos tercatat/jasa ekspedisi/kurir ke alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
4. Dalam hal PKP mengajukan permohonan untuk:
a. cetak ulang Kode Aktivasi, PKP akan dikirimkan kembali Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi oleh KPP melalui jasa pos tercatat/jasa ekspedisi/kurir ke alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
b. Update email, PKP akan menerima Password ke email PKP.
5. Dalam hal Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi atau Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang dikirimkan oleh KPP kembali pos (kempos), PKP akan menerima pemberitahuan melalui email PKP.
6. Dalam hal PKP menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi, tetapi tidak menerima Password melaluli email karena kesalahan penulisan alamat email pada Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password, PKP harus mengajukan permohonan update email.
7. Dalam hal permohonan PKP disetujui tetapi kempos, PKP harus terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan alamat dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sebelum mengajukan kembali permohonan Kode Aktivasi.
8. Dalam hal permohonan PKP ditolak, PKP harus terlebih dahulu diverifikasi dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sebelum mengajukan kembali permohonan Kode Aktivasi.
9. Dalam hal Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi hilang, PKP dapat mengajukan permohonan cetak ulang Kode Aktivasi dengan cara mengajukan Surat Permohonan Cetak Ulang Kode Aktivasi yang dilampiri dengan fotokopi Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian dan BPS dari KPP atas surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.


II. Kantor Pelayanan Pajak

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Kepala KPP bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan pemberian Kode Aktivasi dan Password kepada PKP.
2. Petugas Tempat Pelayanan Terpadu
Menerima dan meneliti kelengkapan surat permohonan sesuai dengan ketentuan:
a. dalam hal surat permohonan belum diisi secara lengkap, Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) meminta kepada PKP untuk melengkapinya; atau
b. dalam hal surat permohonan telah diisi secara lengkap, Petugas TPT:
1) mencetak BPS dan LPAD;
2) memberikan BPS kepada PKP; dan
3) menggabungkan surat permohonan dengan LPAD dan meneruskan ke Petugas khusus yang ditunjuk.
3. Petugas Khusus yang Ditunjuk
a. menerima berkas permohonan dari Petugas TPT;
b. meneliti status PKP dengan ketentuan;
1) Petugas merekam data PKP, mencetak, dan memaraf konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi, serta mengirimkan Password ke alamat email PKP dalam hal:
1) PKP telah dilakukan registrasi ulang dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan:
a.1 status PKP tetap; atau
a.2 Dibuatkan Berita Acara Verifikasi dalam rangka pembatalan Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2) PKP telah dilakukan verifikasi dalam rangka Pengukuhan PKP dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan menerima permohonan Wajib Pajak untuk dikukuhkan sebagai PKP.
2) Petugas merekam data PKP, mencetak, dan memaraf konsep Surat Penolakan Permohonan Kode Aktivasi dan Password dalam hal:
a) PKP belum diregistrasi ulang/diverifikasi;
b) PKP telah dilakukan registrasi ulang dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan diterbitkan Surat Pencabutan Surat Pengukuhan PKP; atau
c) PKP telah dilakukan verifikasi dalam rangka Pengukuhan PKP dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan menolak permohonan Wajib Pajak untuk dikukuhkan sebagai PKP.
c. menyerahkan konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi kepada Kepala Seksi Pelayanan.
d. menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang telah ditandatangani oleh Kepala Seksi Pelayanan dan meneruskan ke Sub Bagian Umum untuk dikirimkan ke PKP dengan menggunakan jasa pos tercatat/jasa ekspedisi/kurir serta mengarsipkan berkas permohonan PKP.
e. dalam hal Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi kempos, Petugas harus menginputkan nomor Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi dan Kode Aktivasi/nomor Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi ke dalam sistem yang telah disediakan dan memberitahukan kepada PKP melalui email PKP.
f. dalam hal Petugas menerima:
1) Surat Permohonan Cetak Ulang Kode Aktivasi yang dilampiri dengan fotokopi Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian dan BPS, Petugas mencetak kembali Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi yang bersangkutan, memaraf, dan menyerahkan ke Kepala Seksi Pelayanan.
2) Surat Permohonan update email, Petugas melakukan update email PKP dan mengirimkan Password ke email PKP.
g. mencetak konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi baru, dan mengirim Password baru ke email PKP dalam hal sistem memberikan notifikasi re-aktivasi Kode Aktivasi dalam jangka waktu tertentu.
4. Kepala Seksi Pelayanan
Kepala Seksi menerima, meneliti, dan menandatangani konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi dan meneruskan ke Petugas untuk dikirimkan ke PKP.
5. Pelaksana Sub Bagian Umum
Pelaksana Sub Bagian Umum menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi dan mengirimkan ke alamat PKP dengan menggunakan jasa pos tercatat/jasa ekspedisi/kurir.

III. Jangka Waktu Penyelesaian

Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.



TATA CARA PERMINTAAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

I. Pengusaha Kena Pajak

1. PKP mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak ke KPP tempat PKP dikukuhkan.
2. Dalam hal PKP:
a) salah menginputkan Kode Aktivasi dan/atau Password; atau
b) tidak memenuhi persyaratan,
berkas permintaan dikembalikan ke PKP.
3. Dalam hal PKP telah memenuhi persyaratan, PKP akan menerima Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak.
4. Dalam hal Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak hilang, rusak, atau tidak tercetak dengan jelas, PKP dapat meminta kembali ke KPP untuk cetak ulang dengan menunjukkan Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak yang bersangkutan.


II. Kantor Pelayanan Pajak

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Kepala KPP bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan pemberian Nomor Seri Faktur Pajak kepada PKP.
2. Petugas Khusus yang Ditunjuk
a. menerima surat permintaan dari PKP, dalam hal surat permintaan belum diisi lengkap, Petugas meminta kepada PKP untuk melengkapinya;
b. dalam hal surat permintaan sudah diisi lengkap, Petugas masuk ke sistem pemberian Nomor Seri Faktur Pajak nasional dan menginput data permintaan PKP;
c. Petugas mempersilahkan PKP untuk menginput Kode Aktivasi dan Password pada sistem secara mandiri;
1) dalam hal PKP salah menginputkan Kode Aktivasi dan/atau Password, surat permintaan dikembalikan kepada PKP; atau
2) dalam hal Kode Aktivasi dan Password yang diinput PKP benar, Petugas melanjutkan ke proses selanjutnya.
d. Petugas menginput masa pajak Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN yang telah dilapor selama 3 bulan berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal permintaan beserta jumlah penerbitan Faktur Pajaknya.
Dalam hal PKP belum melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) bulan berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal permintaan diajukan, surat permintaan dikembalikan ke PKP.
Dalam hal PKP sudah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) bulan berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal permintaan diajukan, Petugas mencetak dan memaraf Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak.
Catatan:
1. Jumlah Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan kepada PKP baru atau PKP yang melaporkan SPT secara manual/hardcopy paling banyak sebesar 75 (tujuh puluh lima) nomor seri;
2. Dalam hal PKP telah menerbitkan Faktur Pajak dan melaporkan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelumnya secara elektronik (e-SPT), jumlah Nomor Seri Faktur Pajak yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. jika jumlah diminta PKP > dari 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah penerbitan Faktur Pajak selama 3 (tiga) bulan sebelumnya, maka jumlah Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan kepada PKP sebesar 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah penerbitan Faktur Pajak selama 3 (tiga) bulan.
b. jika jumlah diminta PKP ≤ dari 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah penerbitan Faktur Pajak selama 3 (tiga) bulan sebelumnya, maka jumlah Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan kepada PKP sebesar jumlah yang diminta PKP.
e. setelah Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak ditandatangani oleh Kepala Seksi Pelayanan, Petugas menyerahkan langsung Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak ke PKP serta mengarsipkan dan menggabungkan berkas permintaan PKP dengan tindasan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak.
f. dalam hal Petugas menerima permintaan cetak ulang atas Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang hilang, rusak, atau tidak tercetak jelas, Petugas mencetak kembali Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang bersangkutan, memaraf, dan menyerahkan ke Kepala Seksi Pelayanan.
3. Kepala Seksi Pelayanan
Kepala seksi menerima, meneliti, dan menandatangani konsep Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dan meneruskan ke Petugas untuk diserahkan ke PKP.
4. Jangka Waktu Penyelesaian
Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak diterbitkan pada hari yang sama sejak
permintaan diterima secara lengkap.



TATA CARA PENGEMBALIAN DAN PENGAWASAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

I. Pengusaha Kena Pajak

a. PKP berkewajiban melaporkan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan.
b. PKP menerima BPS dari Petugas TPT atas berkas pelaporan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan.


II. Kantor Pelayanan Pajak

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Kepala KPP harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian Nomor Seri Faktur Pajak kepada PKP, baik mengenai permintaan Nomor Seri Faktur Pajak maupun penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan pelaporan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan oleh PKP.
2. Petugas Tempat Pelayanan Terpadu
a. menerima Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan;
b. mencetak LPAD serta BPS;
c. menyerahkan BPS kepada PKP; dan
d. menggabungkan LPAD dengan surat pemberitahuan.
3. Kepala Seksi Pelayanan
Menerima berkas dari Petugas TPT dan meneruskannya ke Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI).
4. Kepala Seksi PDI
a. menerima berkas dari Seksi Pelayanan dan menugaskan Pelaksana Seksi PDI untuk merekam data tersebut dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
b. menugaskan Pelaksana Seksi PDI untuk melakukan kompilasi atas Nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan kepada PKP dan menyandingkannya dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah dilaporkan oleh PKP melalui SPT dan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan.
c. menyampaikan pemberitahuan ke Seksi Pengawasan dan Konsultasi apabila terdapat perbedaan antara Nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan kepada PKP dengan yang telah dilaporkan oleh PKP melalui SPT dan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan.
5. Pelaksana Seksi PDI
a. merekam Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak digunakan dalam Sistem Informasi
Direktorat Jenderal Pajak.
b. melakukan kompilasi atas Nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan kepada PKP dan menyandingkannya dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah dilaporkan oleh PKP melalui SPT dan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan.
c. dalam hal terjadi perbedaan antara Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan kepada PKP dengan yang telah dilaporkan oleh PKP melalui SPT dan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan, Pelaksana Seksi PDI harus menyampaikan data tersebut ke Kepala Seksi PDI untuk diteruskan ke Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
d. meneruskan berkas pemberitahuan ke Seksi Pelayanan untuk diarsipkan apabila tidak terdapat perbedaan antara Nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan kepada PKP dengan yang telah dilaporkan oleh PKP melalui SPT dan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Digunakan
6. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Menerima berkas pemberitahuan dari Seksi PDI dan melakukan Tata Cara Verifikasi.




Wednesday, January 22, 2014

LOWONGAN KERJA : MARKETING

Kami, perusahaan konsultan akuntansi dan pajak saat ini sedang membutuhkan staf marketing / pemasaran dengan kualifikasi sebagai berikut :

1. Pendidikan minimal SMEA jurusan manajemen atau sederajat
2. Memahami siklus bisnis konsultan
3. Mengerti menggunakan komputer dan internet
4. Memiliki kendaraan sendiri dan SIM
5. Berdomisili di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat lebih diutamakan
6. Rajin, punya inisiatif tinggi, bisa bernegosiasi dan bekerja sama dalam tim

Bagi yang memenuhi kualifikasi di atas dan berminat untuk apply silakan kirimkan CV, foto terbaru dan gaji yang diharapkan via email ke :

belmindo_consultant@yahoo.com

LOWONGAN KERJA : STAF AKUNTANSI DAN PAJAK

Kami, perusahaan konsultan akuntansi dan pajak saat ini sedang membutuhkan staf akuntansi dan pajak dengan kualifikasi sebagai berikut :

1. Pendidikan minimal SMEA jurusan akuntansi
2. Memahami siklus akuntansi
3. Pernah mengambil brevet A dan B menjadi nilai lebih
4. Mengerti mengoperasikan microsoft excel , program akuntansi Zahir dan sejenisnya
5. Berdomisili di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat lebih diutamakan
6. Rajin, punya inisiatif tinggi dan bisa bekerja sama dalam tim

Bagi yang memenuhi kualifikasi di atas dan berminat untuk apply silakan kirimkan CV, foto terbaru dan gaji yang diharapkan via email ke :

belmindo_consultant@yahoo.com


Saturday, September 14, 2013

124/PMK.011/2013 tanggal 27 Agustus 2013

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR : 124/PMK.011/2013 

TENTANG 

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 
DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013 
BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,




Menimbang : 

a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang realistis sehubungan dengan terjadinya gejolak pada pasar keuangan dan nilai tukar rupiah, dan untuk meningkatkan daya saing industri nasional baik yang berorientasi domestik maupun ekspor, serta untuk mendukung program Pemerintah dalam upaya penciptaan dan penyerapan lapangan kerja, perlu diberikan kebijakan Pajak Penghasilan untuk meringankan dan menjaga likuiditas bagi Wajib Pajak industri tertentu; 

b. bahwa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak; 

c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;



Mengingat : 

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);



MEMUTUSKAN :

Menetapkan : 
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013 BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU. 



Pasal 1

(1) Terhadap Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan :
a. pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 sampai dengan Masa Pajak Desember 2013; dan/atau 
b. penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013. 

(2) Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang : 
a. industri tekstil; 
b. industri pakaian jadi; 
c. industri alas kaki; 
d. industri furnitur; dan/ atau 
e. industri mainan anak-anak, 

(3) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan.



Pasal 2

(1) Besarnya Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dapat diberikan paling tinggi sebesar : 

a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang tidak berorientasi ekspor; atau 
b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berorientasi ekspor. 


(2) Untuk mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis tentang besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang diminta, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 




Pasal 3 

(1) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. 

(2) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.




Pasal 4 

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan sanksi administrasi atas penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.




Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.




Pasal 6

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 


Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 27 Agustus 2013 
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 29 Agustus 2013 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
AMIR SYAMSUDIN 


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1066

SE - 42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : 
SE - 42/PJ/2013 

TENTANG 
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 

TENTANG 
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU 

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,





A. Umum 

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan penerapan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.





B. Maksud dan Tujuan

1. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan balk dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.





C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.





D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.





E. Materi

1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.


2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.


3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada butir 2 huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:

a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.


4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, balk yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.


5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah :

a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).


6. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.


7. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.


8. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.


9. Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.


10. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada butir 6 ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


11. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 10 wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.


12. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 10 dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 11, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.


13. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 11 diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.





F. Hal-Hal Khusus Terkait Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final

Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final diatur sebagai berikut :

1. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha Wajib Pajak dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.


2. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial, pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.


3. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dengan mengisi Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.


4. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2):

a. kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu";
b. kolom KAP/KJS diisi dengan "411128/420".


5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).


6. Pajak Penghasilan atas penghasilan Bari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang disetor tidak menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420 dapat diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Wajib Pajak ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420, sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan.


7. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:

a. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
1) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan; atau
2) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
3) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

b. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas import
1) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
2) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.


8. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf E butir 8 dapat diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain, sampai dengan ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.


9. Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu.


10. Atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final pada:

a. lampiran III bagian A butir 14 (Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final, Formulir 1770-111) bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. lampiran IV bagian A butir 16 dengan mengisi "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu" (Formulir 1771-1V) bagi Wajib Pajak badan.


11. Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013 :

a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran usaha selama Tahun Pajak 2013, tidak termasuk peredaran usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan Masa Pajak Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.





G. Penghapusan Sanksi Administrasi

1. Sehubungan dengan tujuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah:

a. memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan;
b. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
c. mengedukasi masyarakat untuk transparansi; dan
d. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan Negara;
dipandang perlu memberikan keringanan atas sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu atas pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.


2. Berdasarkan pertimbangan pada butir 1, kepada Kepala Kanwil MP agar menghapuskan sanksi administrasi Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2013.





H. Penutup 

Mengingat penerapan ketentuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013, dengan ini diinstruksikan:

1. Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan untuk melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud yang berada di wilayah kerja masing-masing.


2. Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu:

a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan melakukan:

1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional (SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk tempat-tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah kerjanya masing-masing;

2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk melaksanakan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;

3) pemanfaatan alat keterangan yang diterima dan membandingkannya dengan data Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang bersangkutan;

4) pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai pemenuhan syarat pengenaan Pajak Penghasilan, yaitu sebesar 1% (satu persen) bersifat final sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 atau sesuai tarif dalam Pasal 17 Undang-Undang;

5) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang mendapat Surat Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain;

6) pengiriman alat keterangan ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat usaha Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.


b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melakukan:

1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional (SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk tempat-tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah kerjanya masing-masing;

2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk melaksanakan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;

3) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang mendapat Surat Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain;

4) pengiriman alat keterangan atas pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan.


c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah kerjanya.




Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 2 September 2013 

DIREKTUR JENDERAL, 
ttd 
A. FUAD RAHMANY 
NIP 195411111981121001


Saturday, July 13, 2013

PER-24/PJ/2013 Tanggal 2 Juli 2013


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 24/PJ/2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
a. bahwa sehubungan dengan belum tersedianya Kode Jenis Setoran khusus untuk penyetoran PPh
Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, Kode Jenis Setoran khusus untuk penyetoran PPh penghasilan
kontraktor di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis
dan penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest, dan Kode Jenis Setoran khusus
untuk penyetoran PPN melalui penebusan stiker lunas PPN atas penyerahan produk rekaman suara
atau gambar, perlu membuat Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kedua hal tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133 , Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan
Pajak sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 86/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Penggunaan Stiker
Dalam Pemungutan Dan Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Produk Rekaman
Gambar;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174/KMK.03/2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara;
10. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang
Penatausahaan Penerimaan Negara melalui Modul Penerimaan Negara;
11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan Modul
Penerimaan Negara;
12. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-153/PJ./2002 tentang Penetapan Bentuk,
Ukuran, Warna, lsi, dan Teks Stiker Lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Dasar Pengenaan Pajak
Untuk Menghitung Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Gambar dan
Penunjukan Asosiasi yang Memberikan Rekomendasi untuk Penebusan Stiker Lunas Pajak
Pertambahan Nilai serta Tata Cara Penebusan dan Pelaporannya sebagaimana diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2008;
13. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2008.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-38/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK.
Pasal I
Menambah Kode Jenis Setoran pada Angka 8 Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final dan
menambah Kode Jenis Setoran pada Angka 14 Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam
Negeri dalam Tabel Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak
menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD RAHMANY

Sunday, March 3, 2013

SE-02/PJ/2013 tanggal 31 Januari 2013


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR : SE - 02/PJ/2013

TENTANG

PENYAMPAIAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 224/PMK.011/2012 TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010
TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN
PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU
KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,




A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, perlu ditetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain



B. Maksud dan Tujuan

1. Penetapan surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

2. Penetapan surat edaran ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.



C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup surat edaran ini meliputi Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.



D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012;



E. Materi

1. Pemungut PPh Pasal 22Pemungut PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain adalah :

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembagalembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
1) PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
2) Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.


2. Penunjukan Pemungut PPh Pasal 22

Penunjukan Pemungut PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dilakukan tanpa Surat Keputusan Kepala KPP (secara otomatis).


3. Tarif dan Pengecualian

a. Besarnya tarif pemungutan PPh Pasal 22 untuk beberapa pemungut adalah sebagai berikut:
1) BUMN tertentu, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf e adalah 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN;
2) industri farmasi, atas penjualan semua jenis obat kepada distributor di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf f adalah 0,3% dari DPP PPN;
3) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf g adalah 0,45% dari DPP PPN.
b. Batas pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembayaran sehubungan dengan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya oleh BUMN tertentu sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf e paling banyak Rp 10.000.000,00.
4. Tanggal Berlaku Peraturan Menteri Keuangan PMK 224/PMK.011/2012 mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan, yaitu mulai tanggal 24 Februari 2013.



F. Penutup.

Agar pelaksanaan ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain dapat berjalan dengan baik, dengan ini para:

1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk:
a) melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud;
b) mengawasi pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud di lingkungan wilayah kerja masing-masing,

2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan diminta untuk melakukan sosialisasi atas pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud.


Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001